Pensiunan PT Chevron Pacific Indonesia. Menjadi Pemerhati aspal Buton sejak 2005.
45 Tahun Indonesia Impor Aspal, Beranikah Prabowo Mengakhiri Penghinaan Ini?
Sabtu, 26 Juli 2025 13:00 WIB
Jika Presiden Prabowo Subianto tidak memagari proyek ini dengan keberanian politik dan ketegasan hukum, maka investasi akan terus tersandera.
***
Sudah 45 tahun lamanya Indonesia menjadi konsumen setia aspal impor. Di saat bangsa-bangsa lain berlomba-lomba memaksimalkan sumber dayanya sendiri, kita justru membiarkan kekayaan nasional aspal Buton, terkubur dalam diam. Kini, di era kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, sejarah kembali membuka peluang: Danantara resmi mengalokasikan investasi untuk hilirisasi aspal Buton. Tetapi pertanyaannya, apakah ini cukup? Atau hanya basa-basi negara agar tampak sedang bekerja?
Jangan buru-buru bangga hanya karena proyek ini masuk dalam daftar strategis nasional. Jangan pula terlena oleh angka-angka fantastis yang diumumkan di podium-podium birokrasi. Karena faktanya, untuk mencapai swasembada aspal, bangsa ini butuh lebih dari sekadar satu proyek bernilai Rp1,49 triliun. Kita butuh keberanian politik yang nyata, bukan sekadar seremonial.
Aspal Buton bukan barang baru. Ia telah lama dikenal sebagai kekayaan strategis bangsa. Tetapi selama empat dekade lebih, kekayaan ini dikhianati oleh kebijakan negara sendiri. Pemerintah berganti, janji datang dan pergi. Tetapi yang konsisten hanya satu: Indonesia tetap mengimpor aspal hingga lebih dari 1,5 juta ton per tahun.
Lalu, apa artinya alokasi dari Danantara ini? Apakah ini pertanda kebangkitan industri aspal nasional? Atau justru pelipur lara agar Buton tidak lagi bertanya mengapa tanahnya kaya tetapi rakyatnya tetap tertinggal? Jika Pak Prabowo memang ingin mengakhiri penghinaan ini, maka Danantara harus menjadi langkah awal dari gebrakan besar, bukan sekadar proyek vitrin. Proyek vitrin adalah proyek yang hanya tampak bagus di permukaan untuk dipamerkan, tetapi tidak memiliki substansi, dampak nyata, atau keberlanjutan.
Swasembada aspal bukan sekadar proyek teknis. Ini soal harga diri bangsa. Tidak bisa kita bicara tentang hilirisasi aspal Buton kalau kita tidak berani memutus tali ketergantungan pada aspal impor. Tanpa keberanian itu, maka proyek sebesar apapun tidak ubahnya seperti membangun pabrik di atas pasir: rapuh dan mudah runtuh.
Presiden Prabowo Subianto punya peluang emas untuk mencetak sejarah. Tetapi sejarah tidak ditulis dengan pidato. Ia ditulis dengan keberanian keputusan politik yang menyentuh akar persoalan. Apakah Pak Prabowo berani menandatangani kebijakan pembatasan impor aspal secara bertahap? Apakah ia berani memerintahkan BUMN Karya dan Kementerian PU untuk memakai aspal Buton, bukan produk asing?
Tanpa captive market yang jelas, pabrik seharga triliunan rupiah itu hanya akan menjadi bangunan kosong. Tanpa regulasi yang berpihak, industri aspal nasional akan terus dihantam harga dumping dari luar negeri. Dan tanpa proteksi terhadap produk dalam negeri, jangan harap swasembada aspal akan jadi kenyataan.
Di sinilah letak tantangan utama bagi Pak Prabowo: beranikah beliau melawan mafia impor aspal yang selama puluhan tahun menjadikan Indonesia pasar permanen bagi aspal luar negeri? Beranikah ia membongkar kartel yang bermain di balik pengadaan aspal proyek-proyek infrastruktur?
Jika jawaban dari semua pertanyaan itu “tidak”, maka alokasi Danantara akan menjadi proyek kosmetik belaka. Buton akan kembali kecewa, dan rakyat Indonesia tetap berjalan di atas jalan-jalan yang dibangun dari uang kita sendiri, tetapi dengan aspal milik bangsa lain.
Kita tidak butuh proyek simbolik. Kita butuh revolusi kebijakan. Kita butuh keberanian untuk menjadikan Buton sebagai pusat industri aspal nasional. Butuh peta jalan yang konkret, dari ekstraksi hingga produk akhir, dari tambang hingga jalan tol.
Kita juga butuh pemerataan. Apakah proyek ini akan membuka lapangan kerja baru bagi anak-anak muda Buton? Ataukah mereka hanya akan jadi penonton sementara alat berat dan tenaga kerja dari luar menguasai tanah mereka? Ini bukan hanya soal industri, tetapi soal keadilan wilayah.
Swasembada aspal harus menjadi visi nasional yang dijalankan lintas kementerian. Bukan hanya ESDM, tetapi juga Bappenas, PU, Perindustrian, Kemenkeu, dan tentu saja Kementerian BUMN. Tanpa orkestra kebijakan yang utuh, satu proyek Danantara tidak akan mengubah apa-apa.
Danantara hanyalah alat. Ia bukan mesin pengubah sejarah, kecuali jika didorong oleh kepemimpinan yang tegas dan berani. Maka, semua kembali ke Presiden Prabowo Subianto. Beranikah ia menorehkan jejaknya dalam sejarah bangsa sebagai presiden yang mengakhiri ketergantungan memalukan ini?
Jika ya, maka generasi mendatang akan mengingat bahwa pada era Prabowo, Indonesia akhirnya berdiri di atas aspalnya sendiri. Tetapi jika tidak, maka Danantara hanya akan menjadi babak baru dari drama panjang pengkhianatan terhadap potensi bangsa. Dan kita pun akan terus berjalan di atas jalan-jalan penghinaan itu.
Masyarakat Buton tidak meminta keistimewaan, mereka hanya menuntut keadilan. Bahwa tanah mereka yang menyimpan cadangan aspal alam terbesar di dunia seharusnya diberdayakan secara maksimal untuk kepentingan nasional. Mereka ingin terlibat, ingin menjadi bagian dari sejarah, bukan sekadar korban pembangunan yang hanya menyisakan debu tambang dan janji-janji kosong. Danantara, jika serius, harus memastikan bahwa masyarakat lokal bukan hanya objek, tetapi subjek utama dalam rantai nilai industri ini.
Kita juga tidak bisa menutup mata lagi bahwa proyek ini akan menghadapi perlawanan diam-diam dari mereka yang selama ini diuntungkan oleh impor. Mafia impor aspal bukan sekadar istilah; mereka nyata, punya jaringan, dan punya kekuatan mempengaruhi kebijakan. Jika Presiden Prabowo Subianto tidak memagari proyek ini dengan keberanian politik dan ketegasan hukum, maka investasi akan tersandera dan harapan akan dibajak oleh kepentingan lama.
Lebih jauh lagi, pemerintah harus menjadikan proyek ini sebagai panggung percontohan bagaimana hilirisasi aspal Buton bukan hanya sekadar slogan, tetapi sistem kerja yang terintegrasi. Sertifikasi teknologi ekstraksi, jaminan pembelian hasil produksi, skema insentif fiskal, dukungan logistik, dan tata kelola distribusi harus dirancang sejak awal. Tanpa itu semua, proyek ini akan berjalan pincang dan penuh hambatan birokrasi yang tidak kunjung selesai.
Dan yang paling penting, rakyat Indonesia harus terus mengawal. Tidak boleh ada lagi ruang celah untuk lupa atau lengah. Karena jika proyek ini gagal, yang rugi bukan hanya Buton, bukan hanya Danantara, tetapi bangsa ini secara keseluruhan. Kita akan kembali jadi bangsa yang kaya sumber daya, tetapi miskin kedaulatan. Dan sejarah tidak akan pernah memaafkan generasi yang membiarkan peluang emas seperti ini hilang begitu saja.
Jadi sekali lagi, pertanyaannya sederhana namun tajam: Beranikah Prabowo mengakhiri penghinaan ini? Atau justru membiarkan anak cucu kita terus berjalan di atas jalan-jalan yang dibangun dengan aspal asing, sembari bertanya dalam hati,, mengapa kita tidak pernah mau berdiri di atas kekayaan aspal kita sendiri?

Pemerhati Aspal Buton
6 Pengikut
Baca Juga
Artikel Terpopuler